BATUAN ULTRABASA
Batuan ultrabasa adalah batuan beku yang kandungan silikanya rendah (< 45 %), kandungan MgO > 18 %, tinggi akan kandungan FeO, rendah akan kandungan kalium dan umumnya kandungan mineral mafiknya lebih dari 90 %. Batuan ultrabasa umumnya terdapat sebagai opiolit.
Kelompok batuan peridotite terdiri dari :
• Dunite – terdiri dari olivine, dengan sedikit kandungan enstatite pyroxene dan chromite.
• Harzburgite – terdiri dari olivine, enstatite, dan sedikit chromite.
• Lherzolite – terdiri dari olivine, enstatite, diopside, serta sedikit chromite dan atau pyrope garnet.
• Pyroxenite – terdiri dari orthopyroxene dan atau clinopyroxene, dengan sejumlah kecil kandungan olivine, garnet, dan spinel.
Peridotite adalah suatu batuan beku berukuran butir menengah, berwarna gelap, mengandung sedikitnya 10 persen olivine, besi dan mineral yang kaya akan magnesium (biasanya pyroxenes), dan tidak lebih dari 10 persen feldspar.
Kelompok batuan peridotit tidak umum tersingkap dipermukaan dan sangat tidak stabil. Umumnya batuan peridotit yang tersingkap telah terubah menjadi serpentinit, dimana mineral pyroksen dan olivin terubah menjadi mineral serpentin dan amfibol, proses perubahan ini (hydrasi) diikuti dengan perubahan volume yang mengakibatkan terjadinya perubahan (deformasi) dari tekstur awalnya.
Tabel .
Kandungan mineral dalam batuan ultrabasa
Sebaran batuan ultra basa di Indonesia cukup luas, mulai dari Aceh, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, NTT, Maluku, Irian Jaya Barat dan Papua..Luas sebaran seluruhnya mencapai 3 juta hektar.
Dari sekian banyak sebaran batuan ultrabasa, diantaranya yang dekat aksesibilitasnya dengan aktifitas manusia (kota) adalah sebaran batuan ultrabasa di daerah Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Papua.
Sebagian besar batuan ultrabasa di Indonesia adalah batuan peridotit yang sebagian telah mengalami serpentinisasi.
Jenis batuan batuan ultrabasa di wilayah ini adalah batuan peridotit yang terserpentinkan, berwarna hijau tua, di beberapa tempat mengandung buncak dan lensa kromit. Tebal satuan ini sekitar 2.500 m mempunyai kontak dengan batuan sekitarnya. Umur satuan ini diperkirakan berumur Trias.
Batuan ultrabasa di daerah Sulawesi Selatan terdapat di Kabupaten Barru, di sekitar Palaka, Kecamatan Barru dan Komplek Bantimala, Kecamatan Tanete Riaja. Luas sebaran di Kecamatan Barru sekitar 2.500 ha, di Kecamatan Tanete Riaja 3.300 ha.
Sumberdaya batuan ultrabasa sekitar 580 juta m3 atau sekitar 4.800 juta ton.
Komposisi Kimia: SiO2 = 35,48 - 40,04%; Al2O3 = 0,55 - 1,21%; Fe2O3 = 7,54 - 8,03%; CaO = 0,00 - 0,16%; MgO = 37,90 – 40,77%; Na2O = 0,00 - 0,13%; K2O = 0,20%; TiO2 = 0,03%; MnO = 0,08 - 0,11%; P2O5 = 0,01 – 0,03%; SO3 = 0,00 – 0,05%; H2O = 0,72 – 0,077%; HD = 12,21 – 15,35%;
Persyaratan batuan ultrabasa yang dapat digunakan dalam proses perangkap mineral gas CO2 :
• Sumber penghasil gas CO2 merupakan sumber yang tidak bergerak atau tetap (bukan yang dihasilkan oleh alat transportasi)
• Lokasi tambang harus dekat dengan sumber penghasil gas CO2, seperti pembangkit listrik, industri semen dsb.
• Cadangan bahan galian tambang jumlahnya harus memadai untuk dapat mengikat 10.000 ton CO2 /hari, untuk jangka waktu minimal 10 tahun (sekitar 70 – 100 juta ton bahan galian).
• Bila digunakan dunit (olivine) haruslah yang tidak mengalami serpentinisasi (rendah), supaya mendapatkan densitas yang besar dan rendah akan kandungan FeO2.
• Berdasarkan komposisi kimia harus mengandung MgO yang tinggi rendah CaO, LOI dan rendah CO2 (yang mengindikasikan rendahnya kandungan mineral pengotor pada batuan tersebut).
2.1.1 PERANGKAP GAS CO2
Perangkap gas CO2 merupakan terjemahan dari “carbon dioxide sequestration” adalah suatu proses mencegah gas CO2 terlepas ke atmosfir dengan menggunakan teknik penyimpanan tertentu sehingga gas CO2 aman terperangkap dalam bentuk dan lokasi tertentu dalam waktu lama sesuai umurgeologi. Fungsi dari perangkap gas CO2 adalah mencegah terlepasnya gas CO2 hasil pembakaran bahan bakar fosil ke udara (atmosfir).
Berbagai macam metoda perangkap gas CO2 telah dilakukan percobaan diantaranya :
1. Formasi geologi :
a. Penyimpanan dalam aquifer
b. Reservoar minyak dan gas yang kosong (dikosongkan)
c. Lapisan batubara
d. Menaikkan pemulihan (recovery) minyak (EOR)
2. Lautan
3. Teknik pembakaran batubara tanpa emisi (ZEC-Zero Emission Coal Technology)
4. Perangkap mineral (Mineral Sequestration)
Yang akan dibahas dalam kajian ini adalah perangkap gas CO2 dengan metoda perangkap mineral (mineral sequestration) dengan menggunakan mineral yang terkandung didalam batuan ultrabasa. Mineral magnesium atau kalsium diperlukan dalam proses ini, secara alamiah MgO dan CaO sangat sulit didapat, kedua oksida tersebut sangat mudah bereaksi dengan CO2, keterdapatan di alam lebih sering dijumpai sebagai mineral silikat, sumberdayanya cukup memadai (sebanding) dengan sumberdaya energi fosil.
Pilihan utama dalam proses perangkap mineral adalah magnesium silikat dan kalsium silikat atau limbah industri. Namun demikian Yegulalp et al. dan O’ Connor keduanya menyatakan bahwa magnesium silikat lebih atraktif sehubungan dengan jumlah dan ukuran sumberdayanya. Pemilihan mineral magnesium silikat dibandingkan dengan kalsium silikat, adalah magnesium silikat lebih reaktif daripada kalsium silikat dan oksidanya yang diperoleh mempunyai persentase berat lebih tinggi daripada mineral kalsium. Magnesium silikat mempunyai persentase berat 35 – 40 % MgO, sedangkan kalsium silikat hanya mempunyai 12 – 15 % CaO.
Serpentine (Mg3Si2O5(OH)4) dan olivine (Mg2SiO4) (yang terdapat dalam batuan fosterite) keduanya merupakan mineral yang dapat digunakan dalam proses perangkap gas CO2. Serpentine mengandung 38 – 45 % MgO, 5 – 8 % oksida besi dan 13 % air. Olivin mengandung 45 – 50 % MgO dan 6 – 10 % oksida besi. Olivin lebih banyak mengeluarkan panas (kalor) jika bereaksi dengan CO2 95 kj/mole dibandingkan serpentin 64 kj/mole, dengan demikian dibutuhkan olivine lebih sedikit dibandingkan serpentin untuk menangkap CO2 dalam jumlah yang sama, perbandingannya sekitar 2 : 3. Goldberg memprediksi dibutuhkan sekitar 2 (dua) ton serpentin atau 1,5 ton olivine untuk menangkap 1 (satu) ton gas CO2.
Pada saat ini baik olivine maupun serpentin sudah ditambang untuk keperluan lain, biaya penambangannya sekitar $ 3 – 5 / ton. O’Connor menyatakan bahwa penambangan serpentin memadai untuk proses perangkap CO2, dalam 1 GW pembangkit listrik diperlukan 30 – 40 kt/hari serpentin dengan taksiran biaya $ 4 – 5 / ton.
Endapan serpentin mempunyai karakteristik lebih baik daripada olivine, dalam jangka pendek mineral serpentin merupakan pilihan yang dapat digunakan dalam proses perangkap gas CO2.
Proses reaksi kimia gas CO2 dengan batuan ultrabasa :
CaO + CO2 → CaCO3 + 179 kJ/mole
MgO + CO2 → MgCO3 + 118 kJ/mole
(Mg, Ca)xSiyOx+2y+zH2z + xCO2 → x(Mg, CA)CO3 + ySiO2 + zH2O
Forsterite (olivine):
Mg2SiO4 + 2CO2 → 2MgCO3 + SiO2 + 95 kJ/mole
Serpentine:
Mg3Si2O5(OH)4 + 3CO2 → 3MgCO3 + 2SiO2 + 2H + 64 kJ/mole
Keuntungan Perangkap mineral :
• Terbentuknya karbonat secara termodinamik adalah stabil dengan demikian produknya permanen, sehingga tidak ada kemungkinan gas CO2 terlepas ke udara.
• Sumberdaya batuan ultrabasa cukup memadai
• Karbonat merupakan bentuk energi paling rendah dari karbon, bukan CO2
• Proses perangkap terbentuk secara alamiah namun dalam skala waktu geologi, dengan kajian ini diharap proses tersebut dapat dipercepat
• Batuan ultrabasa mudah didapat disekitar pusat pembangkit tenaga listrik yang mengeluarkan gas CO2
• Berpotensi menghasilkan produk sampingan yang bermanfaat (magnesit)
• Proses perangkap secara teknologi memungkinkan dlakukan bersamaan dengan perencanaan pusat tenaga listrik
• Prediksi biaya masih memungkinkan, sekitar $15 - $20 per ton CO2 atau Rp 135.000 – Rp 180.000 per ton CO2 (Rp 9.000,- per $ 1)
• Pelaksanaan proses tanpa membutuhkan panas karena reaksinya eksotermik
Kendala yang mungkin terjadi :
• Proses perangkap harus terdapat dilokasi tambang ultrabasa karena diperlukan volume material yang besar
• Diperlukan tempat “stock pile” yang besar karena dalam proses ini terjadi pemekaran volume
• Diperlukan sistim penambangan yang ekstensif sehingga berdampak pada lingkungan
• Berpotensi terdapat mineral asbes yang tidak dikehendaki dalam penambangan batuan ultrabasa
• Harus dapat menangani mineral pengotor
PROSES PERANGKAP GAS CO2 DENGAN BATUAN ULTRABASA
Reaksi :
Proses reaksi kimia gas CO2 dengan batuan ultrabasa :
CaO + CO2 → CaCO3 + 179 kJ/mole
MgO + CO2 → MgCO3 + 118 kJ/mole
(Mg, Ca)xSiyOx+2y+zH2z + xCO2 → x(Mg, CA)CO3 + ySiO2 + zH2O
Forsterite (olivine):
Mg2SiO4 + 2CO2 → 2MgCO3 + SiO2 + 95 kJ/mole
Serpentine:
Mg3Si2O5(OH)4 + 3CO2 → 3MgCO3 + 2SiO2 + 2H + 64 kJ/mole
Kecepatan Reaksi :
Isu utama dalam proses perangkap mineral adalah kecepatan reaksi, reaksi terjadi secara alamiah dalam waktu geologi. Supaya proses bisa ekonomis kecepatan reaksi maksimal harus terjadi dalam 1 (satu) jam. Goldberg mengusulkan untuk mempercepat reaksi diperlukan langkah – langkah sbb. :
a. Memanaskan serpentin pada temperature 6000 6500 C untuk melepaskan ikatan dengan air (serpentin mengandung 13 % air)
b. Tambahkan natrium bikarbonat (meningkatkan konsentrasi HCO3-) dan larutan NaCl (membantu melepaskan ion magnesium dari silikat) pada reaksi
Dengan modifikasi tersebut 78 % konversi berjalan dalam waktu 30 menit pada tekanan 185 bar dan temperatur 1550 C. O'Connor memberikan hasil reaksi karbonasi olivine dan serpentine :
• Efisiensi 80% , dalam waktu 1 jam, pada PCO2 = 150 atm, T=155ºC
• Efisiensi 50% , dalam waktu 1 jam, pada PCO2 = 20 atm, T=155ºC
• Efisiensi 40%, dalam waktu 1 jam, pada PCO2 = 20 atm, T=50ºC
source: Goldberg
Gambar - 1. Diagram waktu reaksi dan perkembangan reaksi
Kelarutan Batuan Ultrabasa :
Untuk melarutkan batuan ultrabasa digunakan HCl dengan perbandingan 1 : 1, dan larutan campuran 3 asam HCl-HNO3-HF, hasil pelarutannya sbb. :
• HCl panas dapat melarutkan Mg dari batuan ultrabasa lebih baik daripada larutan campuran (≥35 wt-% versus ≤15 wt-% Mg). Hasil residu berupa (~45 to 60 wt-%) dari larutan HCl meliputi silica gel, spinel, dan pyroxene serta silikat lainnya seperti talk, amphiboles, khlorit dan serisit. Larutan campuran 3 asam mengendapkan MgF .
• HCl panas dapat melarutkan Mg dari serpentinit lebih baik daripada dari batuan peridotit, dunit, karena serpentinit kurang mengandung silikat reaktif seperti pyroxen. Sebagian besar Fe dalam serpentinit terdapat sebagai mikrokrystallin magnetit yang relatif mudah larut dalam HCl.
• HCl panas kurang efektif melarutkan “trace metals” dari batuan ultrabasa daripada 3 larutan asam. Namun masih bisa melarutkan logam Cr, Mn, Co dan Ni yang umumnya terdapat dalam olivine.
• Larutan HCl pada temperatur 60°C dan tekanan satu atmosfir sama baiknya dengan larutan HCl pada 200°C dan 15 bars dalam melarutkan Mg dari serpentinit.
Kalkulasi dalam perangkap mineral gas CO2 :
• Dengan menggunakan mineral serpentin Mg3Si2O5(OH)4, jumlah kebutuhan mineral per ton gas CO2 terperangkap.
1/3Mg3Si2O5(OH)4 + CO2 = MgCO3 + 2/3SiO2 + 2/3H2O
(? mol serpentine/ mol CO2) x (mol CO2/44 g CO2) x (277.1 g serpentine/ mol serpentine) = 2.1 g serpentine/ g CO2 = 2.1 ton serpentine per ton CO2
• Untuk kandungan MgO dalam batuan sebesar 40%, rekoferi penambangan 90% (ore recovery) dan konversi dalam proses reaksi karbonasi 80%.
(1 mol MgO/ mol CO2) x (mol CO2/44 g CO2) x (40.3 g MgO/ mol MgO) x (g mineral/ 0.4 g MgO) x (1/ 0.9) x (1/0.
= 3.18 g mineral/ g CO2 = 3,18 ton mineral per ton CO2 terperangkap
• Bila di konversikan dalam jumlah batubara, dengan asumsi batubara mengandung 70% carbon :
(3.18 ton mineral/ ton CO2) x (44 ton CO2/ 12 ton C) x (0.7 ton C/ ton batubara) = 8.2 ton mineral dibutuhkan untuk membakar 1 ton batubara
Gambar – 2. Diagram proses perangkap Gas CO2 dengan batuan ultrabasa.
Gambar - 3 . Diagram alir penggunaan batuan ultrabasa dalam proses perangkap gas CO2.